buku dan kesarjanaan ( copy )

Salut buat kakak farid I really liked this article, reminds me of the deceased father, he was the make us all successful, thank you father has taught us ideals in life.

buku dan kesarjanaan




SUATU hari seorang teman facebook mengomentari foto saya yang berlatar belakang rak buku. “kayak di perpustakaan umum saja”, katanya. Sebenarnya sangat sulit bagi saya untuk tidak berfoto dengan latar belakang buku karena setiap sudut dan dinding rumah selalu ada buku. Hal ini bukan suatu kebetulan atau dengan maksud pamer (narzis), tapi buku sejak kecil sudah menjadi bagian penting yang mewarnai kehidupan keluarga. Almarhum ayah saya adalah pemilik toko buku pertama di Pangkep, “TB. Harmonis” sebelum akhirnya terangkat menjadi PNS Guru sekitar tahun 1980-an dan saat menjadi guru, beliau sekian lama merangkap sebagai pustakawan di perpustakaan sekolah tempatnya mengajar.

Mungkin karena terpengaruh almarhum ayah, saya pun sampai sekarang senantiasa menyiapkan uang saku untuk beli buku setiap bulannya. Jalan – jalan ke Toko Buku dan berburu buku baru menjadi rekreasi edukasi yang menyenangkan bagi saya. Minat saya terhadap buku tidak berkurang ditengah derasnya arus informasi dan pengetahuan yang ditawarkan Internet dengan segala kemudahannya. Sampai saat ini sudah sekitar 5000-an judul buku yang saya beli dari uang saku sendiri.
1324375308267581498

Sebuah pesan dan segores kenangan. Bersama alm. ayah (1978), dan Bersama anak (2008). (foto : dok.pribadi).

Kita membutuhkan banyak guru untuk melengkapi kecakapan dan keterampilan dalam menghadapi potensi dan tantangan kehidupan. Salah satu guru yang mampu menemani kita dalam keseharian itu adalah buku, bahkan saya pernah mengatakan beberapa tahun lalu kepada seorang teman penulis, “Kalau bukan karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan seseorang itu menyandang gelar kesarjanaan, saya tidak butuh kuliah. Alasannya, saya telah memiliki banyak guru yang menemani dan menuntun saya setiap saat dalam 24 jam keseharian. Guru itu adalah buku”, ujar saya sekaligus menyoroti begitu banyak sarjana yang hanya akrab dengan buku saat duduk di bangku perkuliahan.

Jika dilihat dari masa studi, khususnya pada saat berada di lingkungan perguruan tinggi, setidak – tidaknya setiap sarjana itu memiliki satu rak buku untuk menyimpan dan mempelajari kembali Buku – buku masa kuliahnya. “Kebanyakan diantara kita begitu bangga berfoto dengan latar belakang rak buku palsu pada saat wisuda, tanpa ada pemikiran untuk senantiasa membekali diri dengan kembali banyak membaca buku, apatah lagi menulis buku”, ungkap teman saya yang kini selain aktif menulis buku juga telah mendirikan sebuah perusahaan penerbitan buku. “Jangankan sarjana, Doctor dan Professor saja banyak yang hidup bagaikan ‘menara gading’, tidak tersentuh ilmunya oleh masyarakat karena tidak pernah menulis buku”, tambahnya.
13243751311776100036

Buku diperlukan"Untuk Masa Depan yang Lebih Baik. (foto : dok.pribadi).

Tak dapat dipungkiri, saat ini banyak sarjana copas. Harus saya katakan ini. Sarjana copas yaitu sarjana yang lahir dari skripsi yang dibuat secara “abal – abal”, suatu karya tulis yang dimodifikasi dari skripsi yang telah ada sebelumnya. Sangat mudah kini untuk melahirkan karya akademik seperti itu mengingat berlimpahnya informasi dan pengetahuan, termasuk skripsi dalam bentuk e-book di Internet. Maka tak heran, yang muncul kemudian adalah sarjana yang bangga berfoto dengan latar belakang rak buku palsu tanpa akrab dengan banyak buku yang sebenarnya di masa studinya. Bukankah buku dan kesarjanaan seharusnya bagaikan dua sisi yang tidak terpisahkan ? mari belajar lagi dan belajar terus tiada henti. (*)

Tulisan ini lahir saat mengenang alm. Ayah, Drs Bundu Makkulau yang telah mengajarkanku mencintai buku. Semoga damai disisiNya. Amieen.

Komentar

Postingan Populer